REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal 21 Mei tahun 1998 merupakan saat yang bersejarah bagi rakyat Indonesia, karena saat itu Presiden Soeharto turun dari posisinya sehingga digantikan Profesor Bacharuddin Jusuf Habibie.
Saat itu Habibie menjadi Wakil Presiden, walaupun pakar pembuatan pesawat terbang itu akhirnya harus jatuh juga pada bulan Oktober 1999 setelah dikalahkan lawan-lawan politiknya.
Naiknya Habibie menjadi pucuk pimpinan tertinggi pemerintahan Indonesia tersebut berhasil menenangkan suasana di Tanah Air, sehingga berbagai kemajuan berhasil diraih seperti anjlognya nilai tukar rupiah dari sekitar Rp16.000/dolar menjadi dibawah Rp10.000.
Namun lepasnya Provinsi ke-27 Timor Timur menjadi negara tersendiri yakni Timor Leste menjadi" catatan hitam" bagi sejarah kepresidenan Habibie yang hanya berlangsung sekitar satu setengah tahun itu.
Namun ada satu kejadian penting yang nyaris luput dari ingatan rakyat Indonesia sehingga musibah itu harus diingat kembali apalagi kasus serupa kini menjadi pembicaraan hangat terutama para politisi, yakni masalah penyadapan.
Pada satu hari, petugas keamanan menemukan kenyataan menyakitkan hati bahwa pembicaraan Habibie dengan Jaksa Agung Andi Ghalib ternyata telah disadap, sesudah ditemukannya mikrofon kecil di ruangan kerja Habibie di kantor kepresidenan.
Namun penemuan mikrofon kecil itu sampai sekarang praktis tidak pernah dijelaskan secara terbuka antara lain siapakah yang memasang alat penyadap itu, siapa yang menyuruhnya dan sudah berapa lama penyadapan itu berlangsung. Pertanyaan itu amat penting untuk dijawab, karena saat ini kejadian itu juga terjadi lagi.
Perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara lain ke Inggris juga disadap. Akibatnya, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan Kementerian Luar Negeri menuntut pemerintah Amerika Serikat dan Australia untuk memberikan penjelasan tentang desas-desus atau isu keterlibatan Washington dan Canberra terhadap penyadapan pembicaraan Presiden Yudhoyono.
Pertanyaan yang bisa muncul pada benak rakyat di Tanah Air adalah kalau AS dan Australia telah membantah menyadap SBY maka apa yang akan dilakukan Marty dan para pejabat Indonesia lainnya? Apakah bantahan itu akan "ditelan bulat-bulat" atau akan terus dipertanyakan sampai kapan pun juga?
Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan merupakan salah satu pemimpin dunia yang secara jelas menyatakan kegusarannya bahwa pembicaraannya pun disadap oleh intel-intel AS, padahal semua orang pun tahu bahwa Jerman adalah salah satu sekutu terdekat Washington.
Kembali ke kasus di dalam negeri, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada hari Senin (4/11) menolak tuduhan bahwa pemerintah Jakarta ikut bertanggung jawab terhadap kasus penyadapan yang dilakukan Kedutaan Besar AS di Jakarta, karena anggota DPR Ramadhan Pohan menyebutkan izin renovasi Kedubes AS yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan membuka peluang bagi tindakan haram itu.
"Apa urusan saya dengan penyadapan," kata Gubernur Jokowi terhadap tudingan Ramadhan Pohan tersebut. Mantan Wali Kota Solo itu mengatakan Dinas Ketertiban dan Pengawasan Bangunan hanya memberikan izin terhadap renovasi Kedubes AS jitu setelah mereka memenuhi persyaratan teknis.
Jika pembicaraan Presiden Habibie pada masa lalu dan kini percakapan SBY antara lain berhasil juga diketahui melalui proses penyadapan antara lain oleh Kedubes AS, maka ada satu pertanyaan yang selama puluhan tahun menggelitik sejumlah warga dan politisi di Jakarta.
Istana Wakil Presiden terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan yang tepat bersebelahan dengan kantor resmi para diplomat AS di Jakarta. Apakah kantor Wakil Presiden itu sudah "kebal" 100 persen dari kemungkinan besar penyadapan oleh intel-intel AS?. Para petugas keamanan Indonesia tentu sadar sekali bahwa pembicaraan di kantor Wapres itu sangat mudah disadap oleh AS sehingga tentu para petugas keamanan Indonesia sudah melakukan tindakan pengamanan atau mengantisipasinya.
Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah petugas Indonesia misalnya dari Pasukan Keamanan Presiden atau Paspampres bisa yakin betul bahwa percakapan wakil presiden Boediono saat ini sudah 100 persen kebal dari tindakan haram itu?
Bappenas
Salah satu kantor pemerintah Indonesia yang sangat penting adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas yang terletak di Jalan Taman Suropati, Jakarta.
Tugas Bappenas sangat berat dari dahulu hingga sekarang yakni merencanakan pembangunan di seluruh Tanah Air mulai dari Jakarta hingga Papua Barat.
Selain itu, para pejabat Bappenas juga harus merundingkan dengan petugas-petugas berbagai negara lainnya tentang berbagai hal misalnya bantuan asing, hingga kegiatan ekspor dan impor. Ternyata pembicaraan intern di Bappenas itu bisa bocor antara lain karena di depan kantor Bappenas itu terdapat rumah dinas duta besar Amerika Serikat.
Pembicaraan di Bappenas, termasuk mesin fax, foto copy berhasil disadap oleh "mitra" Indonesia itu. Akibatnya, posisi Indonesia jika akan berunding dengan AS sudah bocor duluan sehingga sikap "tawar-menawar" Jakarta terhadap Washington menjadi sudah diketahui lebih dahulu. Akibatnya, sikap Indonesia menjadi sangat lemah.
Seorang jenderal berbintang dua yang sudah puluhan tahun bergerak di bidang intelijen pernah mengungkapkan kepada Antara bahwa intel-intel AS itu tidak hanya bergerak di Jakarta tapi juga "bergerilya" di berbagai daerah di Tanah Air terutama di wilayah-wilayah yang rawan secara politis dan keamanan seperti Aceh.
Kalau melihat dan kemudian merenungkan berbagai tindakan haram tersebut terutama jika menyangkut penyadapan terhadap pembicaraan-pembicaraan para pejabat tinggi
Indonesia, maka apa yang harus dilakukan para pejabat Indonesia?
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tentu sudah tepat jika meminta penjelasan dari para pejabat Washington dan Canberra terhadap tudingan- tudingan bahwa telah terjadi aksi liar berupa penyadapan tersebut.
Kalau Kanselir Jerman Angela Merkel saja sudah berani bersuara keras terhadap Presiden AS Barack Obama, maka mengapa misalnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak melakukan langkah yang serupa?
Para petinggi Indonesia harus mau dan mampu bersura keras dan tajam terhadap proses penyadapan yang dilakukan asing,, apa pun negaranya.
Kalau Jakarta hanya protes yang bersifat basa-basi, maka tindakan indonesia tu hanya akan dianggap sebagai hal yang bersifat formalitas saja. Kalau misalnya pembicaraan intern di Bappenas menyangkut perjanjian dagang dengan Wasington masih bocor lagi, maka kapan Indonesia akan mampu memiliki posisi tawar-menawar yang makin baik.
Selain itu, jajaran keamanan Indonesia seperi Badan Intelijen Negara(BIN), Badan Intelijen dan Strategis Markas Besar TBI atau BIN serta Lembaga Sandi Negara atau Lemsaneg juga harus meningkatkan kemampuan seluruh pejabat dan petugas terkait untuk meningkatkan kemampuan anti sadapnya sambil terus melengkapi diri dengan berbagai peralatan yang semakin canggih agar Indonesia tidak lagi menjadi bulan-bulanan "mitra-mitranya yang baik" itu.
Red:Heri Ruslan
Sumber:Antara
Selasa, 05 November 2013
0 Comments