Kakak beradik Alwi dan Sutanni tidak pernah menaruh curiga kepada Larasati. Keduanya terbuai dengan penawaran manis yang ditawarkan oleh Larasati dalam skema investasi berbasis obligasi dengan bunga tetap 12 persen per tahun.
5 Desember 2014, Alwi sepakat untuk menempatkan uang sebesar Rp1,936 miliar untuk pembelian
Surat Utang Negara (SUN) FR0035. Pun sang adik, Sutanni, dengan penempatan uang sebesar Rp1,75 miliar.
Penandatanganan dokumen perjanjian transaksi itu dilakukan di kantor PT Reliance Securities Tbk (RELI) yang berlokasi di Menara Batavia, Jakarta, tempat di mana Larasati mengaku sebagai Head of Wealth Management dari emiten dengan kode RELI itu.
Underlying asset pada perjanjian itu adalah obligasi negara FR0035 dengan nilai pokok Rp30 miliar dan jatuh tempo pada 2022. Obligasi itu belakangan diketahui mengatasnamakan PT BPJS Ketenagakerjaan.
Lagi-lagi tak menaruh curiga, Alwi dan Sutanni pun menurut ketika Larasati meminta keduanya melakukan transfer dana penempatan kepada rekening Mandiri milik PT Magnus Capital.
Alwi juga tidak pernah ditawari untuk membuka rekening efek di Reliance. Hanya diminta mengisi lembaran persetujuan beli dan fotokopi KTP saja. Menurut Larasati, Magnus adalah penampung dana, sementara FR0035 sendiri ada di HSBC.
Jika mengacu pada janji Larasati, pada 5 Desember 2015, Alwi akan mendapatkan pokok investasi beserta bunganya dengan total Rp2,2 miliar. Sutanni, akan menerima total pokok dan bunga hampir Rp4 miliar.
Tragis, sampai hari ini, pokok investasi dan bunga yang dijanjikan itu tak kunjung cair. Masalah semakin rumit ketika Alwi mengetahui Larasati sudah bukan staf Reliance sejak 1 April 2014, padahal seluruh proses perjanjian transaksi terjadi di kantor Reliance.
Dalam salinan dokumen perjanjian investasi Alwi yang diterima
bareksa.com, kop surat serta stempel yang digunakan adalah atas nama Reliance Securities. Namun, yang menandatangani perjanjian hanyalah Larasati sebagai
Head of Wealth Management.
Saat kasus ini mencuat, Reliance juga
Magnus Capital segera memuat peringatan di laman situs resminya yang bertuliskan peringatan ihwal adanya produk investasi yang mengatasnamakan perseroan dan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh orang tidak bertanggung jawab dengan menawarkan instrumen pasar modal.
Keduanya mengimbau nasabah untuk berhati-hati.
Kasus ini juga menyeret salah satu petinggi bursa, Nicky Hogan, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Reliance Securities. Saat dikonfirmasi Kontan, Nicky memastikan bahwa dokumen perjanjian yang melibatkan Alwi dan Larasati adalah palsu.
"Dicek dulu dokumennya, apakah itu benar dari Reliance. Apakah memang itu investor atau nasabah Reliance dan transaksinya melalui Reliance? Saya memang dirutnya waktu itu. Tetapi saya tidak pernah tanda tangan apa-apa," kata Nicky yang kini menjabat sebagai Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Salah seorang agen yang dihubungi
Kontanmemaparkan, jika berinvestasi SUN seri FR0035 minimal Rp5 miliar, seharusnya investor memperoleh surat konfirmasi yang dilengkapi tanda tangan Direktur Utama Reliance Securities.
Lalu, siapakah Larasati sebenarnya? Penelusuran Kontan, Larasati kini memiliki perusahaan yang berkantor di Office 8 lantai 16, Jalan Senopati, Jakarta Selatan.
Namun, ada delapan perusahaan yang terdapat di lantai 16 dan tidak ada satupun pegawai di sana yang mengenal Larasati. Suasana di lantai 16 juga terlihat sepi dan tak terlalu banyak aktivitas.
Sementara itu, apabila nasabah menghendaki berinvestasi di FR0035 dengan jangka waktu satu tahun, perlu diketahui ada risiko penurunan nilai investasi karena pergerakan harga obligasi. Menurut data
Bloomberg, harga obligasi
FR0035 memang merosot 7,2 persen jadi 119,26 pada Desember 2015 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 128,52.
Bukan kasus baru
Di tengah pasar modal yang berfluktuasi, janji imbal hasil yang pasti (fixed return) biasanya jadi iming-iming yang menarik bagi nasabah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penipuan investasi bodong di tahun 2014 saja sudah menimbulkan kerugian hingga Rp45 triliun.
Salah satu kasus investasi bodong yang sangat ramai adalah penipuan yang melibatkan mitra Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada di tahun 2014.
Koperasi Cipaganti menawarkan keuntunganatau imbal hasil setiap bulan berkisar antara 1,4 persen sampai dengan 1,6 persen disesuaikan dengan masa kemitraan yang dipilih oleh investor, yaitu 1-5 tahun. Untuk tenor satu tahun, imbal hasilnya 1,4 persen per bulan.
Sedangkan untuk tenor dua tahun sekitar 1,5 persen per bulan dan 1,6 persen per bulan, untuk tenor tiga tahun Untuk tenor 4-5 tahun, imbal hasilnya bisa mencapai 1,65-1,7 persen per bulan.Dari koperasi ini terhimpun uang Rp3,2 triliun.
Serupa dengan Cipaganti. Oktober 2015, pengurus Koperasi Serba Usaha Berkah Mandiri Sejahtera di Cikarang ditangkap karena menipu ribuan warga Bekasi dan DKI Jakarta dengan dalih bisnis investasi minyak goreng dengan total investasi
sekitar Rp11 miliar.
Februari 2016, Gunarni Gunawan divonis bersalah dan divonis hukuman 15 tahun penjara berikut uang denda karena terbukti melakukan penipuan dengan skema Ponzi di Papua dengan nilai Rp13 miliar.
April 2016, pesohor Sandy Tumiwa divonis dua tahun penjara karena membuat perusahaan fiktif bernama PT CSM Bintang Indonesia untuk menarik investor (skema ponzi) sebagai anggota di perusahaan tersebut. Ia dan rekannya Cici juga menjanjikan
keuntungan 18-40 persen.
Dana yang terkumpul perusahaan adalah sebesar Rp7 miliar.
Skema ponzi adalah model penipuan bisnis yang didasarkan pada perekrutan sejumlah investor. Cara kerjanya mirip multi-level marketing (MLM).
Promotor awal (orang-orang di puncak piramida) merekrut investor dan nantinya investor yang direkrut juga akan membawa banyak investor lain yang mungkin atau tidak menjual produk. Skema ponzi akan runtuh ketika tidak berhasil menarik investor baru.
Sumber:beritagar.id