OTT bebas memakai jaringan operator gratis tanpa bayar. Salah siapa?
Pendiri dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg [foto ilustrasi]
―――――――
Over The Top (OTT). Di kalangan pegiat telekomunikasi, istilah ini tak asing. Tapi, bagi masyarakat awam, istilah ini tak beda halnya dengan istilah telekomunikasi lain yang berbau teknis, seperti GSM, BTS, atau LTE.
OTT merupakan istilah untuk layanan atau konten digital yang didistribusikan via Internet tanpa ada keterlibatan operator dalam mengontrol ataupun distribusinya. Biasanya, mereka berupa platform alias penyedia ruang untuk beragam konten, namun tidak bertanggung jawab akan hak cipta, kontrol, serta redistribusi konten-konten tersebut.
Contoh sederhana: YouTube, Facebook, Twitter, Vine, dan aplikasi-aplikasi sejenisnya. Mereka mendominasi jagat maya dengan konten-konten yang dibutuhkan para pengguna Internet. Mereka hanya hidup dari trafik pengunjung Internet. Tapi, asal Anda tahu, mereka tidak perlu investasi besar-besaran untuk membangun jaringan dan infrastruktur.
Di Indonesia, para penyelengara telekomunikasi atau operator seluler selaku empunya jaringan dan infrastruktur dibuat gelisah oleh keadaan ini. Konten OTT berlalu-lalang di jaringan operator. Kehadirannya "mengunyah" bandwidth dan trafik setiap hari.
Tapi, para pemain OTT tidak pernah membayar sepeser pun ke operator selaku pemilik jaringan. Tak hanya di Indonesia, isu ini juga menjadi bulan-bulanan operator di seluruh dunia. Di sisi lain, operator dituntut berinvestasi besar membangun jaringan dan infrastruktur agar trafik Internet untuk pelanggan tidak putus.
Mulai dari membangun jaringan Internet bawah laut, memperlebar pipa bandwidth internasional ke mancanegara, menyewa satelit, semua dilakukan demi memanjakan pelanggan. Meski pahit, risiko ini harus ditelan bulat-bulat oleh operator jika tidak mau ditinggal pelanggannya.
Facebook cs tetap melenggang tanpa beban sampai hari ini. Tidak perlu memohon apalagi meminta, trafik tetap datang dan bertambah ke server mereka. Bisnis mereka pun berjalan sehat wal'afiat. Kocek investasi bisa dialihkan ke lain urusan, tidak perlu membangun infrastruktur yang sangat mahal seperti apa yang dilakukan operator.
Sempat berhembus wacana memberlakukan tarif pada pelanggan yang ingin mengakses Facebook, YouTube, dan kawan-kawan. Tapi, tidak mungkin. Mustahil. Dari awal berdiri sampai hari ini, platform itu diakses gratis. Jika diberlakukan tarif, yang dikhawatirkan akan terjadi adalah kiamat Internet. Para pelanggan kabur, berhenti main Internet.
Dibendung aturan
Keberadaan pemain aplikasi besar atau OTT menjadi dilema bagi operator seluler. Dibenci tapi dicari. Benci karena "numpang" jaringan, dicari karena menyumbang trafik sekaligus pendapatan untuk saku operator.
Untuk itu, saat ini, banyak pihak mendorong agar dimunculkan pengaturan bagi para OTT, menuntut agar OTT bisa turut berkontribusi bagi industri digital di Indonesia.
Komisoner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Sigit Puspito Wigajati mengatakan, saat ini pembahasan OTT sudah masuk dalam revisi UU Telekomunikasi.
"Di sana, dibahas tentang status OTT. OTT perlu dipastikan menciptakan manfaat ke masyarakat. Misalnya, apakah membuka lapangan pekerjaan di sini atau menyumbangkan sesuatu untuk industri," kata Sigit di sela diskusi'OTT Business on Indonesia Telco Business: Competing or Collaborating?'di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, 5 Desember 2013.
Sigit mengakui, selama ini belum ada UU yang mengatur OTT. Ia beralasan, pemerintah menginginkan aturan yang benar-benar secara maksimal mempertimbangkan tren digital di masa depan.
Menurutnya, jika pengaturan hanya sebatas peraturan menteri (Permen), menurutnya terlalu kurang legitimate atau sahih.
"Jika sudah diatur UU, OTT diharapkan bisa memberikan kontribusi langsung ke masyarakat, seperti halnya operator yang membangun infrastruktur. Jangan senang dulu dengan jumlah pengguna Facebook termasuk yang tertinggi di dunia," ungkap Sigit.
Pada kesempatan berbeda, Fetty Fajriati, anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan, soal kerja sama antara OTT dengan operator akan lebih kepada relasi antara dua perusahaan (business to business).
Namun, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 disebutkan setiap penyedia sistem elektronik untuk layanan publik harus menyediakan data center dandisaster recovery centerdi Indonesia.
"Pasal 17 memuat kewajiban untuk membangun data center di sini," katanya.
Fetty menyadari, aturan terkait OTT memang terlambat. Soal ini, ia beralasan kekurangan sumber daya manusia yang mau dan paham untuk menyusun aturan tersebut.
"Kita kekurangan orang yang mengerti lapangan dan hukum tentang industri ini," ujarnya. Terkait tenggat waktu untuk melahirkan aturan khusus untuk OTT, ia belum bisa menjamin.
Buat OTT lokal
Terkait hubungan bisnis dengan para pemain OTT, Presiden Direktur PT XL Axiata, Hasnul Suhaimi mengatakan terdapat tiga pilihan yang bisa ditempuh. Pertama, bermitra dengan OTT seperti format bisnis yang ada saat ini, mengenakan biaya tertentu pada OTT karena menggunakan jaringan operator, atau melawan OTT dengan membuat aplikasi serupa buatan lokal.
"Semua alternatif itu ada kelebihan dan kekurangannya," kata Hasnul, saat dijumpai di Jakarta, Kamis 5 Desember 2013.
"Kalaupun ingin mengambil langkah bersaing dengan membuat OTT lokal, kualitasnya harus sekelas global. Ini harga mati. Kalau mau bagus, ya bagus sekalian," ujarnya.
Di sisi operator, Hasnul mengeluhkan investasi untuk infrastruktur yang sangat besar. Untuk membangun infrastruktur, XL Axiata harus menyisihkan 70 persen dari total belanja modal tahun ini.
"Karena itu kami mengusulkan konsolidasi operator dan menara bersama. Kalau sharing, operator bisa menekan biaya investasi sampai seperempat," terang Hasnul.
Senada dengan Hasnul, Sigit Puspito sangat mendukung lahirnya OTT lokal yang siap bersaing dengan OTT global (Facebook, Twitter, YouTube, dan lain-lain). "Saya yakin, operator bisa menjaga iklim kondusif dengan membuat OTT lokal. Ingat, Facebook dan Twitter pun dulunya kecil," kata Sigit. (sj)
© VIVA.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)